Gara-gara histeria kedua tantenya saat menonton Ricky Subagdja dan Rexy Mainaky di Olimpiade Atlanta 1996, Fraya Aloysa Iskandar jatuh cinta pada bulutangkis. Momen di mana Ricky dan Rexy merebut medali emas untuk Indonesia begitu memukau Fraya kecil, hingga ia memutuskan: ia harus jadi atlet bulutangkis!
Tapi kini, di usianya yang ke-18, Fraya terpaksa menerima kenyataan bahwa cita-citanya tak terwujud. Semua karena Mama melarangnya masuk klub bulutangkis saat ia kecil dulu. Fraya hanya bisa menyalurkan cintanya pada bulutangkis melalui ekskul di sekolah, yang tentu saja tak cukup untuk menampung bakat dan ambisinya yang begitu besar.
Dan seakan itu semua belum cukup, Fraya juga harus terima bahwa pacarnya, Albert, lebih suka ia jadi anggota cheerleader daripada berjibaku mengejar shuttle-cock di lapangan. Padahal, apa sih asyiknya pakai rok mini lalu loncat-loncat sambil pegang pom-pom?
Ketidaksukaan Albert pada bulutangkis memuncak ketika Fraya membohonginya demi bisa menonton kejuaraan Thomas-Uber Cup di Istora Senayan. Albert marah besar, dan menghukum Fraya dengan cara melarangnya menonton Thomas-Uber Cup live selama sisa pagelaran itu berlangsung. Padahal, untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, tim Uber Indonesia berhasil masuk babak final!
Kalau sudah begini, mana bisa Fraya terus bertahan sama Albert? Mending putus aja, kan?
***
Tidak seperti novel-novel sebelumnya, salah satunya adalah Dear Dylan yang masih diselipi humor Badminton Freak ini lain. Bukan gak ada humornya sama sekali, tapi memang membaca novel ini mampu mengocok perasaan. Novel ini penuh dengan emosi.
Stephanie Zen berhasil mengangkat suasana Uber dan Thomas Cup dengan sangat baik. Ini salah satu pertandingan yang saya ikuti dengan baik, jadi saya tahu kondisinya. Istilah-istilah bulutangkis ditulis dengan tepat. Komentar-komentar pertandingan juga persis seperti aslinya. Inilah hasilnya kalau novel ditulis oleh orang yang mengerti dan dapat bermain badminton. I’m really sure beberapa persen ceritanya pasti cerita nyata penulisnya. *betul begitu steph? ;p*
Di novel ini kita dibawa mengikuti perasaan Fraya yang naik turun. Ada kalanya dibuat begitu excited seperti pada saat nonton pertandingan, dan tiba-tiba dibuat sedih sekaligus marah saat Fraya dilarang nonton final (asli kalo saya jd Fraya saya nekat deh nonton*), dibuat down saat mengingat ambisinya yang sempat terkubur juga dibuat kaget saat tahu alasan sebenarnya Mama melarang masuk klub. Dan dibuat malu-malu saat dia bertemu... ah baca aja deh ntar saya spoiler lagi. ;p
Dari novel ini saya belajar kalo menyesal itu gak ada gunanya, hanya menambah beban yang berat banget. Kalo kamu punya impian dan ambisi harus dicoba diwujudkan, gagal di belakang itu adalah hasil yang paling penting itu adalah proses yang gak bakal bisa diulang lagi. Kalo memang sudah tidak bisa lagi mewujudkan mimpi. Gak ada salahnya mimpi itu sedikit diputar sudutnya. Seperti Fraya di akhir cerita misalnya ;p