Sewaktu SD saya termasuk orang yang "populer". Ranking 1, ketua kelas, jagoan matematika, pembaca teks UUD waktu upacara, you named it. Hampir semua guru tahu saya, kakak dan adik kelas juga kenal saya. Dan setelah saya masuk SMP pun saya diberitahu kalau saya sering digosipin sama anak SD lain. (FYI, SD saya masuk dalam yayasan yang membawahi 4 SD. Dan 4 SD itu sering beraktifitas bersama, jadi kita kenal dengan beberapa orang anak SD lain.)
Saat SD itu saya seperti berada di "atas". Ranking 1 berturut-turut dan dapat beasiswa uang sekolah, ketua kelas beberapa periode, pembaca teks UUD selama sekitar 1 tahun, dan selalu dapat nilai matematika (hampir) sempurna, saya juga termasuk jagoan sekolah saat ada lomba. Pendeknya, the world in your hand at the time.
Mungkin karena itu saya jadi sedikit sombong. Menganggap mereka yang nakal dan kurang pandai itu tidak selevel. Dan didukung pula dengan sikap saya yang agak judes. Hahahaha lengkaplah sudah, judes dan ketua kelas.
Tuhan mungkin ingin menegur saya, dia menguji saya dengan cobaan pertama. Sekitar kelas 3/4 SD. Saya terkena penyakit demam berdarah, demam berdarah yang parah. 5 hari di ICU, divonis sudah tidak ada harapan, 27 botol infus, makan lewat selang, dll. But thank God, I'm survived. Sebenarnya bukan itu maksud saya soal teguran. Teguran Tuhan yang saya maksud adalah ranking saya yang melorot drastis. Dua minggu di rumah sakit ditambah dengan beberapa hari istirahat di rumah dan kesehatan yang belum sepenuhnya stabil membuat saya tidak bisa belajar dengan sungguh-sungguh seperti biasanya. Ranking saya melorot drastis dari 1 ke 10. Dan yang lebih membuat kecewa adalah, yang dapat ranking 1 adalah teman saya yang selalu jadi saingan. Saya ingat betul saat itu dengan teman-teman membahas nilai dan ranking di taman sekolah. Saya bengong, gak percaya, sedih dan mau nangis. Walaupun tidak diperlihatkan di depan teman lain. Mereka sih sangat mendukung, dengan bilang "namanya juga abis sakit". Tapi ketika kamu berada di atas dan dijatuhkan seperti itu. Rasanya sakit! Sakit banget, bahkan untuk ukuran anak SD.
Sebagai anak jago matematika di SD, saya dan beberapa teman dikirim untuk ikut lomba Astramatika di kota lain. Saya belajar dengan sesama teman SD lain yang satu yayasan. Menyadari potensi kami, akhirnya dibuat semacam satu kelompok utama. Gabungan dari berbagai SD. Tentu saja saya wakil dari SD saya. Saya bergabung dengan dua orang cowok dari SD yang berbeda, yang tentu saja sangat pintar. Dan di situ Tuhan menegur saya yang kedua kalinya, salah satu dari cowok itu (yang sebenarnya sama pintarnya dengan cowok satunya) bersikap sangat arogant dan seperti tidak menganggap saya ada. Yang diajak diskusi hanya cowo satunya. I'm invisible. Dan di situ saya seperti tertampar, keras banget. Apa ini juga yang saya lakukan ke teman saya yang kurang pandai dan nakal. Apa saya searogant dan sesombong itu? Dan setelah saya satu kelas dengannya di SMP, saya baru tahu kalau itu memang sifatnya. Sombong dan meremehkan orang lain.
Tuhan itu sayang, terlalu sayang kepada saya sampai Dia tidak ingin saya salah jalan dan salah arah.
Saat SD itu saya seperti berada di "atas". Ranking 1 berturut-turut dan dapat beasiswa uang sekolah, ketua kelas beberapa periode, pembaca teks UUD selama sekitar 1 tahun, dan selalu dapat nilai matematika (hampir) sempurna, saya juga termasuk jagoan sekolah saat ada lomba. Pendeknya, the world in your hand at the time.
Mungkin karena itu saya jadi sedikit sombong. Menganggap mereka yang nakal dan kurang pandai itu tidak selevel. Dan didukung pula dengan sikap saya yang agak judes. Hahahaha lengkaplah sudah, judes dan ketua kelas.
Tuhan mungkin ingin menegur saya, dia menguji saya dengan cobaan pertama. Sekitar kelas 3/4 SD. Saya terkena penyakit demam berdarah, demam berdarah yang parah. 5 hari di ICU, divonis sudah tidak ada harapan, 27 botol infus, makan lewat selang, dll. But thank God, I'm survived. Sebenarnya bukan itu maksud saya soal teguran. Teguran Tuhan yang saya maksud adalah ranking saya yang melorot drastis. Dua minggu di rumah sakit ditambah dengan beberapa hari istirahat di rumah dan kesehatan yang belum sepenuhnya stabil membuat saya tidak bisa belajar dengan sungguh-sungguh seperti biasanya. Ranking saya melorot drastis dari 1 ke 10. Dan yang lebih membuat kecewa adalah, yang dapat ranking 1 adalah teman saya yang selalu jadi saingan. Saya ingat betul saat itu dengan teman-teman membahas nilai dan ranking di taman sekolah. Saya bengong, gak percaya, sedih dan mau nangis. Walaupun tidak diperlihatkan di depan teman lain. Mereka sih sangat mendukung, dengan bilang "namanya juga abis sakit". Tapi ketika kamu berada di atas dan dijatuhkan seperti itu. Rasanya sakit! Sakit banget, bahkan untuk ukuran anak SD.
Sebagai anak jago matematika di SD, saya dan beberapa teman dikirim untuk ikut lomba Astramatika di kota lain. Saya belajar dengan sesama teman SD lain yang satu yayasan. Menyadari potensi kami, akhirnya dibuat semacam satu kelompok utama. Gabungan dari berbagai SD. Tentu saja saya wakil dari SD saya. Saya bergabung dengan dua orang cowok dari SD yang berbeda, yang tentu saja sangat pintar. Dan di situ Tuhan menegur saya yang kedua kalinya, salah satu dari cowok itu (yang sebenarnya sama pintarnya dengan cowok satunya) bersikap sangat arogant dan seperti tidak menganggap saya ada. Yang diajak diskusi hanya cowo satunya. I'm invisible. Dan di situ saya seperti tertampar, keras banget. Apa ini juga yang saya lakukan ke teman saya yang kurang pandai dan nakal. Apa saya searogant dan sesombong itu? Dan setelah saya satu kelas dengannya di SMP, saya baru tahu kalau itu memang sifatnya. Sombong dan meremehkan orang lain.
Tuhan itu sayang, terlalu sayang kepada saya sampai Dia tidak ingin saya salah jalan dan salah arah.
0 comments:
Posting Komentar