Atlit dan Masalahnya

Sehabis dapat DM dari salah satu atlit favorit saya yang bilang bahwa ini musim terakhir dia main. Masih sambil harap-harap cemas semoga dia mengurungkan niat, tapi siapalah saya, dia pasti tahu yang terbaik. One thing you should know is you're always have my support, no matter what you do next. :)

Eh eh, jadi mbulet. Intinya gara-gara dapat DM itu dan baca timeline beberapa hari ini (iyee, saya #twitterOD :D) saya jadi pengen cerita kesukaan, pendapat, saran (and probably some critics) tentang atlit dan dunia olahraga.

Saya suka olahraga, suka menonton tepatnya. Karena saya bukan orang yang pandai olahraga. Nilai olahraga di raport hanya berkisar di angka 7, saya takut bola, kalau lari selalu finish no 5 (dari belakang, dari puluhan siswa). Karena itu yang saya bisa adalah menonton dan mendukung atlit-atlit Indonesia. Kalau mau diurut yang saya suka itu pertama bulutangkis (dalam dan luar negeri) kemudian baru basket/sepakbola (dalam negeri).

Sejauh yang saya ingat, saya tidak pernah (secara sadar) menjelekkan-jelekkan atlit. Mohon maaf kalo ternyata saya keceplosan pernah gitu. Karena saya menyadari beratnya jadi atlit, gak bakal bilang "saya tahu rasanya" karena i've never been in their shoes. Yang saya tahu mungkin hanya 10 persen (atau bahkan gak sampe). Saya punya adik sepupu atlit renang, sudah mendengar beratnya perjuangan dia sampai akhirnya sekarang seperti ini.

Dalam olahraga tidak pernah ada yang pasti, masih ingat bagaimana surprisenya CLS Knights menyabet juara 2 NBL Indonesia kemarin. Mengalahkan kandidat-kandidat lain yang difavoritkan juara. Mengalahkan musuh-musuh tangguh seperti Aspac, Garuda, Pelita Jaya dll. Atau yang paling dekat adalah bagaimana hebohnya perlawanan Moh.Ahsan/Alvent Yulianto dalam semifinal Sudirman Cup bulan lalu? Mereka yang pasangan coba-coba (Ahsan aslinya berpasangan dengan Bona, Alvent dengan Hendra AG) harus melawan pasangan ranking satu dunia. Walaupun mereka dengan pasangan aslinya masing-masing juga termasuk sepuluh besar dunia tapi tetap saja, mereka ini baru dipasangkan dalam turnamen besar. Yang terjadi adalah mereka menang, merebut satu poin (dan satu-satunya) dalam semifinal. Indonesia memang kalah, tapi perjuangan mereka patut dihargai.

Dalam bertanding, selain skill ada yang jauh lebih penting yaitu mental. Mental ini dipengaruhi oleh banyak hal, selain harus percaya diri, mereka juga harus membebaskan pikiran dari masalah-masalah besar yang mungkin mereka hadapi. Pernah dengar soal Sony Dwi Kuncoro (yang saya lupa pada kejuaraan dunia apa) harus bertanding padahal istrinya baru saja keguguran, tahu rasanya? Atau saya pernah dengar Denny Sumargo yang harus tanding di salah satu pertandingan NBL padahal teman yang sudah dianggap saudara baru saja meninggal di luar kota, bisa membayangkan? 

Pernah dengan idiom atlit di Indonesia hanya disanjung pada saat menang, dan kalau sudah tidak berguna ya akan disia-siakan. Walaupun tidak setuju, tapi pada kenyataannya memang itu yang terjadi. Pernah tahu atlit bulutangkis Maria Kristin Yulianti (MKY)? Pernah jadi WS andalan Indonesia, peraih perunggu (Sea Games/Olimpiada saya lupa), sekarang sedang mengalami masa penyembuhan akibat cidera cukup serius yang dialami. "Didepak" dari pelatnas beberapa bulan lalu, sekarang sedang mencoba back on track namun terdepak di babak awal di 3 kejuaraan dunia yang tidak terlalu terkenal. MKY sekarang menempati ranking 99 bwf. Hampir hilang dari ranking bwf. Mengenaskan? Miris? Banget! Tapi saya yakin MKY pasti bisa bangkit lagi.

Merasa marah dengan atlit yang keluar dan menjadi atlit atau pelatih di luar negeri? Kita tidak pernah ada di sisi mereka, gak tau rasanya menjadi atlit yang tidak dihargai baik moril dan finansial. Cerita yang riil dan dekat dengan saya adalah adik sepupu saya yang sekarang sedang sekolah sekaligus belajar renang di salah satu kota di Jawa. Adik saya ini karena prestasinya bagus mau semacam dibeli oleh propinsi di Jawa ini. Namun dipertahankan oleh propinsi asal saya karena dianggap potensial. Adik sepupu dan keluarganya bangga apabila bisa membela propinsi asal, tapi bagaimana bisa bangga kalau di propinsi asal tidak mau membiayai biaya sekolah dan latihan adik saya di Jawa yang mencapai jutaan rupiah. Dulu saya menganggap kalau biaya itu akan tertutup kalau adik sepupu saya menang lomba. Untuk kejuaraan besar, bila dia ikut 10 cabang saja biasanya dapat semua medali (sebagian besar emas, sisanya perak/perunggu). Dan yang saya dengar satu medali emas itu hadiah uangnya jutaan rupiah. Dengan berhitung sederhana saja pasti hasil yang didapat adik sepupu saya itu banyak kan? Kenyataannya, setelah dipotong uang administrasi, dan tetek bengek oleh pengurus propinsi/klub, hasil yang didapat bahkan hanya setengah atau bahkan gak sampai. Miris? This is true story. Makanya saya mendukung seratus persen kalau adik saya ini harus dibeli propinsi lain, selama yang dia bela masih Indonesia. Dia masih muda masih butuh banyak biaya agar berkembang dan bisa bela Indonesia ke luar negeri suatu hari nanti. (Amin). 

Satu lagi, pengurus olahraga di Indonesia ini entah kenapa sepertinya kurang mendukung regenerasi pemain. Seperti contohnya bulutangkis. Untuk kejuaraan besar selalu yang dikirim senior, sedangkan untuk kejuaraan dunia yang tidak terlalu besar atlit junior yang dikirim itupun dalam jumlah sedikit karena alasannya keterbatasan biaya. Prett. Menurut desas-desus yang beredar, setiap pengurus ingin selalu periode pengurusannya dianggap berhasil yaitu dengan banyaknya kejuaraan yang dimenangkan. Padahal kalau diteruskan  dalam jangka panjang regenerasi atlit kita akan terhenti karena pemain senior pensiun sedangkan junior belum siap untuk menggantikan.

Oleh karena itu saya acungkan jempol kepada Taufik Hidayat yang di Sudirman Cup kemarin mengundurkan diri untuk memberi kesempatan pada juniornya. Saya percaya kalau saja Taufik gak mengundurkan diri dia pasti akan dipakai terus sampai tidak berprestasi lagi. :( Dan secara berbarengan para pemain senior lain juga banyak yang cidera sehingga juga tidak ikut Sudirman Cup. Ini mungkin namanya setelah hujan akan ada pelangi, tanpa mundurnya mereka kita mana bisa melihat potensi besar dan mental juara luar biasa dari para junior saat menghadapi atlit besar negara lain. 

Saya marah dan belum terima dengan cara pemerintah memperlakukan atlit kita. Namun saya tidak bisa belum bisa berbuat apa-apa. Yang saya bisa adalah mempromosikan sekuatnya pertandingan apapun yang diadakan melalu media sosial. Dengan harapan penonton bertambah, dukungan semakin besar, hadiah untuk atlit pun semakin banyak. Sederhana namun menurut saya bermanfaat :)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: